“Pada era Gus Dur, jumlah UKM yang terbelit kredit macet di perbankan mencapai 14 ribu unit usaha. Tim ekonomi pada tahun 2000 meluncurkan kebijakan memotong utang pokok UKM dan bunganya sebesar 50 persen asalkan dibayar dengan tunai” Rizal Ramli
Meski dampak pandemi virus corona (Covid-19) telah memukul perekonomian Indonesia, peluang untuk bangkit kembali tetap masih ada. Syarat utamanya, tim ekonomi pemerintah harus memiliki terobosan secara nyata yang mampu menggairahkan kembali perekonomian rakyat.
Mantan Menteri Koordinator bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri (Menko Ekuin) Rizal Ramli mengisahkan kesuksesan tim ekonomi yang dipimpinnya pada era Presiden ke-4, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi dari pertumbuhan ekonomi negatif ke positif.
Rizal Ramli menjelaskan, salah satu strategi kebijakan yang dijalankan tim ekonomi Gus Dur sehingga sukses mempercepat pertumbuhan ekonomi dari negatif 3% ke positif 4,9% adalah melalui program restrukturisasi korporasi milik negara maupun unit usaha swasta.
“Tim ekonomi pemerintahan Gus Dur sukses mempercepat pertumbuhan ekonomi dari minus 3% ke positif 4,9%. Seiring dengan itu, utang pun berkurang dan mencapai indeks rasio gini terendah, 0,31, sepanjang sejarah Indonesia adalah melalui program restrukturisasi korporasi milik negara maupun unit usaha swasta,” kata Rizal Ramli dalam keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu (11/4/2020).
Mantan anggota Tim Panel Ekonomi PBB itu menyebutkan sejumlah contoh sukses restrukturisasi korporat, antara lain restrukturisasi Bulog, PT Dirgantara Indonesia (PT DI), dan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Kemudian, pemisahan manajemen PT Telkom dan PT Indosat serta penanganan Bank Internasional Indonesia (BII). Selain itu, kebijakan di sektor properti, usaha kecil menengah (UKM) dan usaha tani.
Dikatakan, Bulog semasa pemerintahan Suharto dikenal sebagai lembaga yang sangat korup. Kemudian, hal itu diubah oleh tim ekonomi Gus Dur menjadi lembaga yang transparan, profesional, dan akuntabel. Langkah pertama adalah melakukan mutasi besar-besaran yang mencakup 5 pejabat eselon satu (deputi) dan 54 pejabat eselon dua (kepala biro dan kepala dolog).
“Dari 26 kepala dolog, 24 di antaranya dipensiunkan atau dimutasi. Total, sekitar 80 karyawan di bawahnya dipensiunkan secara dini,” ujar Rizal Ramli.
Langkah selanjutnya adalah memangkas rekening Bulog dari 117 rekening menjadi hanya 9 rekening. Sistem pembukuan di Bulog yang tidak jelas standarnya diubah menjadi general accepted accounting principles, sehingga dapat diaudit dan dipertanggungjawabkan. Ketika selesai dibenahi, Bulog surplus Rp 5 triliun, yang akhirnya malah dibelikan pesawat Sukhoi pada era setelah Gus Dur.
Bulog pada era pemerintahan Gus Dur, kata Rizal, juga meningkatkan pembelian gabah, bukan beras, dari para petani. Tujuannnya adalah untuk memotong kecurangan para tengkulak yang sebelumnya selalu membeli gabah petani, mengoplosnya dengan beras impor, baru menjualnya ke Bulog. Langkah ini efektif, karena gabah lebih tahan lama disimpan di gudang-gudang Bulog daripada beras.
Cara seperti itu, menurut Rizal, sangat menguntungkan para petani. Sebab, selama musim panen, ketika harga gabah turun, Bulog terjun untuk menyerap dengan patokan harga dasar yang optimal. Sedangkan, ketika masa paceklik, gabah stok Bulog dilepas dan digiling di desa-desa untuk mencegah kenaikan harga beras.
Pada periode itu, sambung Rizal, Bulog juga dilarang impor beras, hanya swasta yang boleh impor beras dengan dikenakan sedikit tarif, tanpa sistem kuota. Akibat dari kebijakan ini, selama masa pemerintahan Gus Dur harga beras menjadi sangat rendah dan stabil.
Selamat dari Kebangkrutan
Rizal Ramli juga menceritakan, tim ekonomi Gus Dur sukses menyelamatkan PLN dari kebangkrutan dengan cara renegosiasi harga beli listrik dari swasta yang ketinggian dari ari US$ 7-9 sen/kWh ke harga normalnya sekitar US$ 3,5 sen /kWh. Dampaknya, beban utang pemerintah dan PLN turun dari US$ 80 miliar ke US$ 35 miliar.
Selain itu, juga dilakukann revaluasi aset sehingga aset PLN meningkat empat kali lipat dari Rp 52 triliun ke Rp 202 triliun dan modal PLN yang awalnya minus Rp 9,1 triliun bertambah menjadi Rp 119,4 triliun.
Dalam persoalan PT DI, sewaktu masih bernama Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) pada 1998, perusahaan itu masih merugi Rp 75 miliar dan hanya mencatatkan penjualan sebesar Rp 508 miliar. Setelah masuk era Gus Dur, IPTN diubah menjadi PT DI seiring juga diubahnya paradigma dari industri yang bersifat biaya tinggi menjadi industri penerbangan yang kompetitif.
PT DI tidak lagi hanya memproduksi pesawat terbang atau helikopter, tetapi juga memproduksi suku cadang dan komponen untuk memasok kebutuhan industri pesawat terbang terkemuka di dunia, seperti Boeing, Airbus, dan British Aerospace. Akibat dari kebijakan ini, pada 2001 PT DI berhasil mencatatkan penjualan sebesar Rp 1,4 triliun atau nyaris tiga kali lipat dibandingkan dengan 1998 dan meraih keuntungan sebesar Rp 11 miliar.
“Setelah era Gus Dur, kondisi PT DI kembali memburuk, karena kesalahan strategi pemerintahan, sehingga dampaknya harus memecat 6.600 karyawan,” kata Rizal.
Rizal Ramli juga mengatakan, sektor properti adalah entitas bisnis yang terkait dengan lebih dari 100 jenis industri, antara lain semen, genteng, besi baja, keramik, furnitur, kayu, cat, dan alat kelistrikan. Sektor ini juga menyerap sangat banyak tenaga kerja.
Karena itu, demi kembali membangkitkan kembali sektor properti yang terpuruk setelah krisis, pada April 2001 tim ekonomi Gus Dur meluncurkan kebijakan restrukturisasi utang bagi para pengembang properti. Kemudahan ini lebih diutamakan kepada para pengembang rumah sangat sederhana (RSH).
Akibat kebijakan ini, nilai kapitalisasi bisnis sektor properti naik dari Rp 9,88 triliun pada 2001 menjadi Rp 12,99 triliun pada 2002 dan Rp 26,95 triliun pada 2003. Akhirnya, ini menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi di era setelah pemerintahan Gus Dur.
Rizal Ramli juga mengatakan, pada era Gus Dur, jumlah UKM yang terbelit kredit macet di perbankan mencapai 14.000 unit usaha. PAda 2000, tim ekonomi meluncurkan kebijakan memotong utang pokok UKM dan bunganya sebesar 50% asalkan dibayar dengan tunai. Kebijakan restrukturisasi utang UKM ini berkontribusi menambah keuntungan Bank Mandiri sebesar Rp 1 triliun pada 2001.
Restrukturisasi utang juga diperoleh pelaku usaha tani di era Gus Dur. Bila luas lahan yang dimiliki petani kurang dari 0,5 ha, petani mendapatkan potongan utang pokok sebesar 50%. Bila luas lahan 0,5 hingga 1 ha, maka potongan utang pokok sebesar 35%. Lalu, bila luas lahan lebih besar dari 1 ha, potongan utang pokok sebesar 25%.
Kemudian, pada era Gus Dur terjadi pemisahan manajemen silang (cross management) dan kepemilikan silang (cross ownership) di tubuh PT Indosat dan PT Telkom. Tim ekonomi Gus Dur ingin agar antara kedua perusahaan ini berkompetisi secara fair, meninggalkan kerja sama terselubung yang selama ini dipraktikkan keduanya. Kebijakan ini menyebabkan negara mendapatkan Rp 5 triliun tanpa menjual selembar saham.
Lalu, pada awal Juli 2001, terjadi rush di Bank Internasional Indonesia (BII) yang awalnya hanya puluhan miliar rupiah kemudian mencapai Rp 500 miliar. Kondisi ini membahayakan sistem perbankan nasional. Saat itu IMF mengusulkan dua opsi, yaitu mem-bail out BII sebesar Rp 4,2 triliun atau melikuidasi BII yang memakan biaya Rp 5 triliun.
Tim ekonomi Gus Dur tidak menuruti nasihat IMF, karena lembaga itu dianggap memiliki rekam jejak menjerumuskan Indonesia pada krisis ekonomi yang parah pada 1997. Indonesia saat itu memilih opsi sendiri.
“Tim ekonomi segera menggelar konferensi pers mengumumkan bahwa pemerintah melalui Bank Mandiri ‘seolah-olah’ mengakuisisi BII sebesar 80%,” kata Rizal Ramli.
Keesokan harinya, siaran pers itu ditempel di seluruh cabang BII. Mengetahui bahwa pemerintah dan bank terbesar berencana mengakuisisi, para nasabah BII pun merasa aman dan mulai kembali menyimpan dananya. Kemudian, tim ekonomi mengganti direksi BII dengan bankir-bankir didikan Bank Mandiri.
“Setelah itu kondisi BII pun kembali normal. Pertama kali dalam sejarah Indonesia, sebuah bank diselamatkan dari rush tanpa melakukan bail out dan likuidasi,” ujar Rizal Ramli.
Ketajaman dalam menganalisa sebuah persoalan patut dicontoh dan dapat diimplementasikan solusi-solusi beraninya